3D Branding


Iklan, dalam konteks branding, mengomunikasikan nilai (brand value). Ada tiga dimensi branding untuk mengomunikasikan nilai tersebut. Dimensi taktis, rasional, dan emosional. Ketiga dimensi tersebut, dapat digunakan salah satu, atau secara bersamaan. Tergantung profil target branding dan tujuan komunikasinya.

Tidak ada brand yang targetnya “siapapun”. Karena kenyataannya setiap orang punya kebutuhan yang berbeda. Memiliki alasan logis yang tidak sama. Dan punya kesan tersendiri, yang merasa harus dipenuhi. Sebenarnya, kita bisa minum teh apa saja. Namun faktanya, brand yang kita pilihlah yang kita seduh di benak dan hati kita. Sehingga saat kita meminumnya, kita merasa bahwa brand tersebut adalah kita.

Efek branding seperti itulah yang dibangun melalui komunikasi brand, yang salah satu bentuknya adalah iklan. Iklan berusaha menyampaikan pesan yang menarik kepada calon konsumen. Mulai dari yang menawarkan keunggulan produknya, hingga yang dapat membuat orang menitikkan air mata haru dan bahagia. Hasilnya, belakangan ada banyak orang mendadak “termehek-mehek” karena Line memutar drama mini “Ada Apa dengan Cinta”. Branding sepuluh menit yang sukses membuat targetnya merasa menjadi Cinta dan Rangga semua.

Dimensi Taktis
Komunikasi brand yang menonjolkan dimensi taktis, berusaha menyampaikan sisi yang langsung dapat dirasakan konsumen. Seperti keunggulan produk, harga yang bersaing, atau keluasan distribusinya. Pesan yang disampaikan fokus pada product knowledge, dan jika dipandang perlu akan disertai dengan aktivitas sampling. Sehingga konsumen dapat langsung mencoba dan memberikan respon secara spontan.

Branding yang terlalu mengandalkan dimensi ini, tidak cukup kuat untuk mendapatkan loyalitas konsumen. Karena brand lain akan sangat mudah meniru keunggulan produknya, membanting harganya lebih murah, dan membanjiri jaringan distribusi dengan produk serupa. Strategi bombardir macam ini terbukti berhasil melemahkan brand yang terlalu mengandalkan dimensi taktis. Karena itu, dimensi taktis harus diperkuat dengan dimensi branding lainnya.

Sony merupakan salah satu contohnya. Legenda produk elektronika ini, dulu memasok mulai kebutuhan rumah tangga, hingga industri berteknologi tinggi. Bahkan sayap bisnisnya juga mengepak di dunia hiburan lewat industri musik dan film. Sekarang, Sony sudah tak seksi lagi. Panggungnya telah diambil alih oleh Samsung. Brand, yang saat Sony berada di rak display paling atas, Samsung masih berada di rak paling bawah untuk kategori brand “tidak jelas”. Tapi kini, branding telah berhasil membuat Samsung lebih berkelas.

Dimensi Rasional
Iklan produk otomotif yang mengaku irit bahan bakar minyak (BBM) saat berita kenaikan harga BBM sedang gencar, merupakan salah satu contoh pendekatan dimensi rasional. Brand berusaha menyajikan kenyataan yang relevan dengan produknya. Informasi produk yang bersifat empiris dipaparkan untuk meyakinkan konsumen. Karena itulah, konsumen butuh waktu untuk membuktikan klaim tersebut. Sehingga, mereka tidak bisa langsung memberi respon seperti pada dimensi taktis.

Kelemahan dimensi rasional, mirip dengan dimensi taktis. Karena keunggulan kompetitifnya bersifat terukur, maka menjadi relatif mudah digeser oleh brand lain. Puluhan tahun yang lalu, Honda memimpin pangsa pasar penjualan motor di Indonesia karena iritnya. Kini, tidak lagi. Karena Yamaha juga berusaha membuktikan bahwa mereka tak kalah hematnya. Kompetisi teknologi sudah selesai. Sekarang saatnya mengadu kecepatan branding untuk mengesankan konsumen.

Honda berusaha mengikat konsumennya dengan “Satu Hati”. Sedang Yamaha berusaha mencuri hati dengan “Semakin di Depan”. Menarik, karena kemudian keduanya bersaing di lintasan branding Moto GP. Saling mendahului dan berebut podium untuk meluluhkan hati target branding mereka di Indonesia. Inilah bukti bahwa dimensi rasional saja tidak cukup, butuh pendekatan emosional.

Dimensi Emosional
Salah satu ciri dimensi emosional, berupa pendekatan komunikasi brand yang menyentuh sisi humanis target branding-nya. Branding model ini butuh waktu lebih lama, tidak bisa spontan. Karena ibarat orang bercakap-cakap, ini merupakan sesi bicara dari hati ke hati. Tujuannya, agar terjadi ikatan emosional yang melahirkan loyalitas pelanggan. Dan ini merupakan idaman semua brand.

Sebab dari dimensi emosional inilah, akan lahir pelanggan yang memilih teh celup tidak hanya karena wangi aroma melatinya. Tapi karena ia ingin terlibat dalam program donasi brand tersebut, yang menjadikan seorang tenaga kerja wanita di negeri seberang, mendapat kejutan kunjungan keluarganya dari Indonesia. Pesan moralnya adalah peduli itu sederhana. Ketika kita sedang menyeduh teh tersebut, kita juga tengah menyeduhkan teh untuk para tenaga kerja wanita yang terpisah dari keluarganya.

Branding yang membangun kepedulian tersebut, tentu lahir dari pemahaman yang mendalam terhadap konsumennya. Sehingga brand value tidak hanya tentang keunggulan produk, tapi juga bicara tentang nilai-nilai yang relevan dengan target branding-nya. Branding bukan spam. Bukan pesan yang hanya dihitung dari seberapa banyak ia disebarkan. Tapi branding dinilai dari seberapa dalam ia mengesankan.

——-

Edy SR
Brandpreneur di EDYSR.COM
ide@edysr.com | @edysrid | #brandpreneur

Kuliah Umum Periklanan
Fakultas Ekonomi & Bisnis UGM
Yogyakarta, 14 November 2014