Ini Kolak Branded, Bung!


Ramadhan di Indonesia, barangkali sama semaraknya dengan jelang Natal dan Tahun Baru di Eropa. Bedanya, Indonesia punya kolak. Sehingga selama sebulan puasa, umat muslim bisa berbuka dengan yang manis.

Kolak sejatinya ‘tidak beragama’. Budaya di Nusantara saja yang menjadikannya seolah identik dengan Puasa Ramadhan. Sebelum dan sesudah Ramadhan, entah para kolak itu menghilang ke mana. Dan entah kenapa juga saat perayaan Valentine, ABG kita tidak saling bertukar kolak bertabur cendol merah muda.

Bapak branding dunia, Walter Landor pernah berkata, “Produk dibuat di pabrik. Tapi brand diciptakan di benak”. Harusnya, ini juga berlaku untuk kolak. Sepanjang Papua hingga Aceh, barangkali ada ratusan varian kolak. Kalau tidak boleh disebut ribuan. Lalu bagaimanakah kita bisa membedakannya satu dengan yang lainnya? Itulah tugas branding!

Brandpreneur Kuliner
Branding bukan ilmu di awang-awang. Tapi justru ilmu yang sangat membumi. Karena itu, secara umum kita semua pasti pernah mengaplikasi branding, meski mungkin tidak sengaja dan belum menyadari. Demikian pula, para pedagang kolak dadakan, yang bagai jamur di musim Ramadhan.

Sebenarnya mereka telah berusaha membuat kolak selegit mungkin, agar di antara ratusan pedagang lain, dia yang paling nikmat kolaknya. Tempat dagangnya pun dikemas unik dan menarik. Ada yang di gerobak, sepeda, motor, bahkan mobil; dengan beragam hiasan dan tulisan harga. Bahkan ada beberapa yang menambahkan kata-kata lucu untuk merayu calom pembeli. Nah, sayangnya masih ada yang terlewat satu hal yang paling penting: branding!

Coba saja jika kolak tersebut diberi nama. Lalu nama tersebut dijadikan tagar di social media, bayangkan betapa berlipat peluang bisnisnya. Sebar via SMS, BBM, Facebook, atau Twitter bersiaplah menghitung laba bisnis kolak sampai ngiler. Bisa jadi bakal ada ‘sinetron’ baru: Tukang Kolak Naik Haji.

Ini Kolak Branded

Kolak Branded
Kekayaan kuliner Nusantara, luar biasa. Dan mungkin belum pernah ada yang menginventarisir kekayaan kuliner kita tersebut. Karena itu, “kolak branded” ini hanya sebagai salah satu contoh kekayaan kuliner yang sangat menggiurkan peluang bisnisnya.

Kekayaan kuliner Nusantara yang potensial di-branding pun tidak harus sajian yang dilabeli “masakan khas para raja atau bangsawan”, cukup yang merakyat. Sehingga, branding kuliner Nusantara tersebut akan melibatkan lebih luas lagi manfaatnya di akar rumput. Bagi rekan yang ingin punya bisnis sendiri, ini peluang sangat bagus. Selain kolak, masih ada banyak lagi makanan khas yang masih “kosongan”.

Branding di sini bukan untuk mengklaim bahwa makanan tersebut “hanya milik kita”, tapi untuk memberi nilai tambah. Sehingga punya nilai ekonomis yang lebih baik. Dan tentu saja bisa lebih menyejahterakan. Ingat, air putih di mana-mana sama saja. Tapi begitu ada brand-nya, harga dan kesan di kepala kita langsung beda.

Sumber Daya Branding
Belajar dari fenomena kolak, silakan rekan-rekan bergegas menyiapkan brand startup. Investasi masa depan ada di branding. Jangan sampai kolak jadi produk waralaba yang di-branding KFC, Mc Donald, Dunkin’ Donuts atau Starbuck baru kita sadar. Baru kita sibuk demonstrasi menolak klaim kolak oleh bangsa lain.

Barangkali kita masih terus menyesali ‘gunung emas Papua’ dikeruk Freeport. Namun, kita lupa sesungguhnya punya jutaan ‘gunung emas branding‘ di kuliner, pakaian, arsitektur, dan produk kreatif lainnya, yang tak kalah kita sesali kalau sampai dikeruk (lagi) oleh bangsa lain. Indonesia tidak hanya kaya sumber daya alam dan sumber daya manusia. Tapi juga punya sumber daya branding yang melimpah ruah, tumpah-tumpah!

Baiklah Brander, sore telah menjelang. Para pedagang kolak sudah selesai masak sejak tadi siang. Kini mereka bersiap membuka lapak untuk berdagang. Ayo salah satu kita beli dan nikmati. Dan jangan lupa, sempatkan berbagi tentang branding ala “Kolak Branded”. Agar selepas Ramadhan, kita tetap bisa bertemu kolak, sama mudahnya dengan kita berjumpa tempat isi ulang pulsa.

——-

Edy SR
Brandpreneur di EDYSR.COM
ide@edysr.com | @edysrid | #brandpreneur