Belajarlah Hingga ke “Made in China”


Teman yang sedang studi di Jerman pernah bilang, “Ketika saya pulang ke Indonesia, lebih susah menemukan label ‘Made in Indonesia’, dibanding saat saya sedang berada di Jerman”. Akhirnya, kami pun berbincang tentang nation branding.

Sebagian orang, masih beranggapan bahwa bangsa tidak perlu ‘dipasarkan’. Jelas, ini pikiran yang kurang pas. Karena pemasaran tidak selalu transaksi jual-beli. Meski, pasti di sana ada impak ekonomi. Puluhan bahkan mungkin ratusan tahun, brand Indonesia kalah populer dari Bali, Borneo, dan Komodo. Kenapa?

Indonesia belum punya kesadaran nation branding. Kesadaran utuh identitas bangsa. Sementara ini, yang ada baru ‘serpihan’ nation branding. Seperti Bali, Borneo, batik, keris, komodo, dan sebagainya. Dan semua ‘serpihan’ tersebut baru akan jadi aset berharga yang dibela dengan amarah, kalau sudah akan dijarah. Begitu akan diklaim bangsa lain, baru heroik. Setelah itu, lupa!

Aspal Korea
Barangkali, tidak banyak yang ingat fenomena aspal Korea. Sekitar 30 tahun lalu, aspal Korea dikenal bagus kualitasnya. Bahkan di Era Soeharto, aspal Korea sebagai salah satu materi kampanye. Setiap Golkar menggelar kampanye di pedalaman atau pedesaan, mereka tidak lupa berjanji akan muluskan jalan becek di daerah tersebut dengan aspal Korea.

Seperti de javu, kini Korea benar-benar ‘mulus’. Tidak cuma aspalnya. Tapi juga kuliner, teknologi, dan tentu saja Kpop-nya. Samsung merupakan ‘brand ambassador‘-nya. Berangkat dari brand produk elektronika di rak display paling bawah. Kini Samsung nyaris tidak menyisakan rak untuk display produk serupa buatan kompetitornya.

Panen raya Korea, telah tiba! Mereka secara sadar membangun sekaligus mengembangkan nation brand yang visioner. Ketika Pemerintah Korea menetapkan kebijakan tersebut, targetnya dalam 25 tahun baru akan memetik hasil. Ternyata, musim buah lebih cepat datang. Hanya butuh sekitar 15 tahun, dunia telah ber-‘gangnam style‘.

Made in China
Hanya tertinggal sekitar lima tahun dari Korea, nation branding Cina tak kalah menggemaskan. Meski Huawei cukup dikenal, tapi dia kalah populer dari ‘brand ambassador‘ yang sesungguhnya: “Made in China”. Label ini awalnya jadi olok-olok untuk produk yang buruk. Tapi kini, kualitasnya sudah membuat pucat pasi Amerika Serikat dan Eropa.

Karena nyaris semua produk Amerika Serikat dan Eropa, Cina punya versi kompetitifnya. Salah satu momentum fenomenal adalah saat brand legendaris IBM diakuisisi oleh Lenovo. Ini serasa seperti Superman terkapar kena tendangan Kungfu Panda.

Cikal bakal nation brand Cina, berupa pendekatan yang sederhana: mandiri, gunakan produk sendiri. Kesadaran tersebut biasa mereka jalani. Karena telah puluhan tahun hidup dengan sistem ekonomi yang tertutup. Uniknya, ketika Amerika Serikat dan Eropa memaksa Cina berekonomi terbuka, justru mereka juga yang langsung merasakan “China Effect”-nya.

Prioritas Strategis
Indonesia bisa belajar dari kedua contoh tersebut. Korea telah mengajarkan kronologi nation branding yang taktis. Berawal dari kebijakan fisik (aspal, infrastruktur), lalu teknologi (Samsung, CDMA, infostruktur). Baru kemudian kebudayaan (kuliner, bahasa, Kpop). Kini, ketiganya telah kagumkan dunia.

Cina, juga memulai dari langkah ‘kecil’. Mandiri, dengan menghasilkan dan menggunakan produk sendiri. Tidak harus langsung sempurna, tapi yang pasti segera dikerjakan. Secara bertahap, dimulai, ditingkatkan kualitasnya. Baru kemudian ekspansi. Sekarang, hanya tinggal Tembok Raksasa Cina yang tidak diekspor mereka.

Indonesia memang belum menentukan nation branding-nya. Tapi modal luar biasa telah tersedia. Istilahnya, ke mana mata memandang, ada modal nation branding yang siap dipanggungkan ke dunia. Namun, meski sangat kaya pilihan, bukan berarti menjadi supermarket, semua disajikan. Tapi butuh disusun prioritas strategisnya. Agar secara bertahap, dunia lebih mudah mencernanya.

Indonesia Cerewet!
Salah satu pilihan strategis bagi nation branding Indonesia adalah pengembangan ekonomi kreatif yang sinergi dengan teknologi informasi. Sepintas, ini tampak remeh. Tapi coba telusuri catatan aktivitas virtual di dunia. Pasti Indonesia tidak lepas dari peringkat atas. Mulai dari aktivitas hacker, hingga social media, Indonesia selalu ada!

Artinya, pemerintah sebaiknya membuat kebijakan yang mendorong aktivitas tersebut berkontribusi positif pada nation branding. Cerewetnya orang Indonesia di social media, harus dikelola untuk nation branding. Hadirkan satu Indonesia, dengan warna-warni positif. Jangan cuma jadi trending topic saat kena bencana, ada kasus korupsi, atau grebekan narkoba.

Jika selama ini Pemerintah Indonesia keukeuh jadikan pariwisata sebagai motor nation branding bagi Indonesia, maka buat kebijakan yang 1001% pro pelancong dunia. Jadikan Indonesia sebagai surga wisata. Mulai backpacking hingga bintang tujuh, siapkan. Sediakan infrastruktur dan infostrukturnya. Titipkan kesan nation branding pada para pelancong dunia, bahwa Indonesia Baik!

——-

Edy SR
Brandpreneur di EDYSR.COM
ide@edysr.com | @edysrid