Brand Spicy


Ceritakan merek kita, biarkan orang mengingatnya. Pepsodent bercerita tentang Dika dan Ayah saat gosok gigi. Lalu sebagian kita jadi mengenang saat awal belajar menyikat gigi. Sesederhana itu merek disemai dalam ingatan. Dan iklan hanya salah satu cara bercerita, bukan satu-satunya.

Sejarah panjang periklanan berawal dari para saudagar menjajakan barang. Dan para pekerja yang menawarkan jasa. Mereka keliling berbagi cerita indah dan menggoda, tentang barang dan jasanya. Itulah kenapa “story telling” dan “word of mouth” tetap digdaya hingga kini.

Kopi Joss Lik Man di Jogja jelas tidak memiliki strategi komunikasi serapi Starbucks. Kekuatan kapitalnya pun sangat timpang. Namun, mereka memiliki punk marketing untuk mengaktivasi mereknya: menambahkan arang membara, ke dalam segelas kopi siap saji, joss! Impaknya, semua orang penasaran. Semua orang menceritakan.

Mie Aceh Titi Bobrok. Tempatnya bukan di Banda Aceh tapi di Medan, Bang! Bagi generasi tua, dia di kenal karena “Titi Bobrok”-nya. Nama yang diambil dari jembatan rusak dekat warungnya. Dalam bahasa lokal, “titi” berarti jembatan, dan “bobrok” berarti rusak. Sedang bagi generasi muda, dia lebih dikenal karena racikan rempah dan tentu saja: pedasnya. Sungguh jembatan komunikasi yang unik antar generasi. Benar-benar “brand spicy”!

Ad vs Clutter
Ingatkah, iklan apa yang pertama kali anda lihat hari ini? Maaf, kalau saya memang sudah lupa.

Tak ada yang bisa menggaransi agar iklan tidak dilupakan. Karena itu, iklan disajikan berulang untuk mengingatkan. Beberapa iklan memainkan waktu tayangnya. Iklan yang lain memilah medianya. Ada juga yang menyajikan beberapa versi iklannya. Tujuannya, menghindari clutter.

Clutter menjadi alasan penting untuk memaksimalkan key word, key sound, dan key visual. Ketiganya akan memaksa iklan beradaptasi dengan strategi komunikasi detik ini. Key word telah melahirkan “Generasi Twitter” yang membatasi iklan 140 karakter saja. Sedang key sound dan key visual, melahirkan “Generasi Youtube” yang merevisi televisi dengan potensi interaktifnya.

Kehadiran generasi baru tersebut, akan mendorong lahirnya periklanan yang lebih segar dan ceria. Karena itu, kita butuh strategi kreatif berbeda. Kita tidak bisa hanya men-tweet naskah iklan. Atau sekedar mengunggah iklan televisi ke Youtube. Mie Aceh Titi Bobrok mengajarkan kelihaian mereka berkomunikasi beda generasi.

Publicity vs Spam
Periklanan yang dihantui clutter, membangunkan kesadaran publisitas. Story telling menjadi kekuatan menyampaikan pesan, merawat ingatan, dan membuka ruang lebih luas bagi tanggapan. Publisitas menjadi generator bagi testimoni. Inilah sebenarnya yang diidamkan merek: pengakuan.

Publikasi tentang penghargaan merek misalnya, merupakan hatrick pengakuan: juri, media, dan publik. Penilaian juri memberi pengakuan kepakaran. Apresiasi media sebagai pengakuan trajektoris (lintas perspektif). Sedang kepuasan publik menunjukkan kecocokan DNA produsen dengan konsumen. Sehingga, rangkaian publisitas ini akan menjadi story telling selanjutnya.

Kontinyuitas publisitas layaknya iklan yang tayang berulang. Pada satu fase berguna untuk mengingatkan. Tapi pada fase lain hanya menjadi spam. Ada ungkapan jurnalisme yang menarik kita aplikasi di strategi publisitas, “Jika tulisan kita  terlalu sedikit, mungkin kita tidak punya bahan. Tapi bila tulisan kita terlalu banyak, bisa jadi kita hanya mengarang”.

Activate: User Spicy
Aktivasi merek tidak hanya memberi user experience. Lebih jauh dari itu: user spicy. Layaknya menyantap cabe, yang mengesankan bukan pengalaman makan cabenya. Tapi pedasnya. Merek juga harus punya “sisi pedas” agar konsumen merasakan. Mengingat. Lalu menceritakannya.

Bank menyediakan simulasi kredit rumah, itu biasa. Kontraktor membuat estimasi biaya pembangunan rumah, itu juga biasa. Tapi jika semen melakukan keduanya, itu baru pedas. User spicy ala Solusi Rumah Holcim ini adalah cerita semen yang bahu membahu bersama toko bangunan, bank, dan ahli bangunan, untuk mendirikan rumah bagi pelanggan.

Kita sedang demam sepeda. Dan Polygon memanaskannya. Mengadopsi test drive ala pasar otomotif, Polygon sajikan user spicy berupa test ride. Sederhana, tapi Polygon meninggalkan jejak pedas di bisnis technology bike di Indonesia. Seolah mereka selalu ingat nasehat bijak strategi sampling, “Tidak ada pengalaman lebih mengesankan, kecuali mencoba lalu menyukainya”.

————-

Edy SR
Brandpreneur di EDYSR.COM
ide@edysr.com | @edysrid

Kuliah Umum Periklanan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta, 07 Oktober 2011