Brandline, Tidak Sekedar Tagline


Sekitar lima tahun lalu, kita akrab dengan tagline “lanjutkan!”. Tagline tersebut sukses membuat SBY menjadi presiden selama lima tahun lagi. Tapi, jika tagline tersebut diusung kembali oleh Partai Demokrat di Pemilu 2014, maka publik bakal bertanya; apanya yang bakal dilanjutkan? Korupsinya, suapnya, atau amburadulnya?

Bandingkan pengalaman tersebut dengan brandline “always Coca-Cola”. “Always” telah mengantarkan minuman bersoda tersebut mendunia. Konsistensi lebih dari seabad tersebut, bukan hanya karena kata kunci komunikasinya yang asyik. Tapi juga karena brand value yang dipelihara dengan apik.

Pengalaman “lanjutkan!” dan “always” sadarkan kita tentang esensialnya brand value yang mendasari kebijakan branding. Iklan dengan konteks branding yang relevan, menjadi aktivasi yang menyenangkan. Tapi jika sembarangan, hanya akan menjadi sampah visual. Selain gagal mengaktivasi brand, juga akan menumbuhkan resistensi publik pada brand tersebut.

Coba perhatikan iklan calon anggota legislatif yang belakangan marak. Apa value yang mereka komunikasikan? Tidak ada. Mereka hanya unjuk tagline “coblos saya”. Tanpa bisa mendefinisikan nilai esensial yang membuat orang harus memilihnya. Sekali lagi, mereka hanya berpikir ‘kulit ari’ yang umurnya cuma hari. Belum mampu menawarkan esensi, yang umurnya abad.

always-coca-cola-situs

Brand Value
Ada beragam penjelasan tentang brand value. Namun esensinya, brand value merupakan definisi kepribadian brand secara jelas, relevan, dan menarik. Jelas, berarti target branding mudah memahami nilainya. Ada ungkapan menarik, “Jika sebuah nilai tidak butuh banyak penjelasan, berarti jelas”.

Selanjutnya, relevan. Relevansi nilai akan tampak dari segala kebijakan branding yang diambil. Baik di ranah strategis, maupun taktis. Kenapa Coca-Cola menjadi sponsor Piala Dunia? Karena Piala Dunia relevan dengan nilainya. Sama-sama “fun”, menyenangkan. Lalu, kenapa Coca-Cola tidak tampak di lapangan sepakbola Indonesia? Karena rusuh itu tidak menyenangkan. It’s not fun!

Sedang menarik, berarti nilai tersebut mampu memikat publik. Kedekatan emosional, mendorong seseorang membuka diri untuk melihat, mendengar, dan menyimak. Inilah sejatinya aset branding yang harus dikembangkan. Sehingga, aktivasi brand akan efektif dan efisien. Tidak hanya habiskan anggaran besar, untuk hasil nol besar.

Brandline
Brand value dikomunikasikan secara visual dan verbal. Brandmark (logo) merupakan representasi nilai secara visual. Kenapa brandmark Nike bukan kelopak bergaris tiga? Demikian juga Adidas, kenapa tidak bercentang saja? Karena kedua brandmark tersebut tidak bisa bertukar nilai yang diwakilinya.

Jika brandmark sebagai representasi visual, maka brandline merupakan duta verbalnya. Banyak contoh brandline apik yang sukses komunikasikan brand value-nya. “Aqua Sehatnya Nyata” terbukti membuat produsen air dalam kemasan ini tak tergeser di pasar Indonesia. Demikian juga “Apapun Makannya, Minumnya Teh Botol Sosro”, atau “Indomie Seleraku”. Padahal, pesaing mereka pasti bisa membuat produk yang tidak kalah kualitasnya. Tapi, menggeser brand value di hati itu susah, Bung!

Cerita sukses, selalu menarik disimak. Tapi yang pasti, semua itu bukan kebetulan dan hoki. Branding merupakan rangkaian panjang kebijakan strategis. Diawali dari nilai yang esensial, lalu diaktivasi, dan hasilnya sebuah investasi branding yang tak lekang dilampaui jaman. Proses strategis ini, tidak cukup digagas hanya dalam hitungan jam. Ingat, bahkan mi instan yang dimasak hanya dalam hitungan menit itu pun, branding-nya dibangun puluhan tahun.

Brand Activation
Aktivasi merupakan proses komunikasi brand value yang terintegrasi. Sehingga nilai tidak hanya disampaikan secara visual dan verbal, namun juga menjadi pengalaman berkesan. Pengalaman target bersama brand, akan meningkatkan pemahaman mereka tentang nilai yang sedang disampaikan.

Aktivasi brand, layaknya daur hidup. Brand yang baru dilahirkan, pasti belum dikenal. Sehingga butuh aktivasi untuk mengenalkan. Aktivasi selanjutnya, bersifat edukatif, untuk mengembangkan brand. Puncaknya, brand yang telah ‘dewasa’, mendapat loyalitas targetnya. Karena itu, aktivasi yang dilakukan bersifat maintenance. Menjaga agar loyalitas tersebut terpelihara terus dengan baik.

Selebihnya, aktivasi harus cermat membaca gelagat. Karena habitat hidup brand bisa jadi berubah sangat cepat. Sehingga kebijakan branding juga mesti beradaptasi agar survive. Fujifilm sebagai contohnya. Dulu, “Seindah Warna Aslinya” begitu memikat dunia fotografi. Kini, Fujifilm harus menerima kenyataan bahwa fotografi digital, tidak kalah indah dari aslinya.

——-

Edy SR
Brandpreneur di EDYSR.COM
ide@edysr.com | @edysrid | #brandpreneur

Workshop Branding
Institute for Research and Empowerment (IRE)
Yogyakarta, 27 Desember 2013