Happy Lucky Year 2013


Hampir seluruh kultur di dunia, memandang angka 13 sebagai angka sial. Hanya ada satu negara di dunia, yang kulturnya menempatkan angka 13 sebagai angka keberuntungan, yaitu Italia. Jadi, mari sambut tahun depan dengan cara Italia: Buon Anno Fortunato 2013!

Sepanjang rentang 2010 hingga 2012, Indonesia dicatat Bank Dunia sebagai negara paling cepat pertumbuhan ekonomi kelas menengahnya di Asia Tenggara. Sedang se-Asia, Indonesia hanya kalah cepat dari Cina dan India. Kini, Indonesia memiliki sekitar 130 juta kelas menengah baru. Jadi, siapa yang akan melayani kebutuhan brand mereka?

Yuswohady, dalam buku “Consumer 3000” menyatakan bahwa kelas menengah merupakan pasar yang sangat potensial. Konsumen kelas menengah ini, memiliki tiga potensi penggerak pasar: daya beli yang kuat, terdidik, dan terkoneksi. Mereka cenderung tidak sensitif lagi pada harga, tapi pada kualitas, keunikan dan value lainnya. Dan potensi terkoneksi mereka, akan menjadi buzzer bagi brand yang mereka terima.

Lifestyle
Fenomena kelas menengah baru di Indonesia tersebut, juga diamati oleh penulis buku “Retail Rules”, Yongky Susilo. Ia menyatakan bahwa kelas menengah, kini telah beranjak pada brand yang menawarkan lifestyle. Brand tidak bisa lagi hanya menawarkan hadiah, diskon, atau harga murah. Masa “eforia murah” telah berlalu. Saat ini mereka lebih memilih brand yang memuaskan, sebagai aktualisasi diri, sekaligus memberi pengalaman baru yang mengesankan.

Staf Ahli Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) ini membaca fenomena tersebut, salah satunya, dalam event Jakarta Fair 2012 dan Jakarta Great Sales 2012. Jakarta Fair, dengan segmen kelas menengah-bawah, mencatatkan revenue Rp 4 trilyun. Angka ini, masih jauh dari yang dicatatkan Jakarta Great Sales, sebesar Rp 10 trilyun. Artinya, potensi pasar kelas menengah-atas di Indonesia, kini sedang tumbuh pesat.

Kenyataan tersebut, butuh direspon dengan pendekatan lifestyle branding. Brand mesti dikembangkan dengan pendekatan “experience economy”. Jika dulu produk menawarkan keunggulannya. Kini mesti dikemas dalam branding yang memorable, dengan sentuhan personal. Dan menghadirkan sensasi yang dibutuhkan konsumen. Jadi, pasar bukan lagi sebagai tempat memajang barang. Melainkan telah berubah sebagai panggung pementasan brand.

Brand Audit
Menjadikan pasar sebagai panggung pementasan brand, tak bisa lepas dari brand audit. Karena brand mesti tahu, ada di mana posisinya sekarang. Sehingga akan dapat menentukan keputusan strategis dan program pengembangan brand value secara tepat. Menurut Brand Consultant Etnomark, Amalia E. Maulana, brand audit merupakan salah satu instrumen vital untuk memetakan strategi branding yang relevan dengan perilaku konsumen yang kini makin dinamis.

Dalam buku “Brandmate” yang ditulisnya, Amalia mengilustrasikan, bahwa branding layaknya proses mengubah just friend menjadi soulmate. Membutuhkan usaha, energi, dan waktu; yang jika dikonversi dalam branding menjadi perencanaan, implementasi, dan manajerial. Karena, branding mesti dikembangkan secara relevan, konsisten, dan unik.

Brand merupakan janji. Karena itu, segala yang dijanjikan harus dibuktikan. Strategi branding mesti berdasar pemahaman yang lebih baik pada konsumen. Ada empat indikator yang bisa digunakan untuk membaca performa brand terhadap konsumen. Pertama, brand identity. Indikator awal ini bisa diukur dengan pertanyaan, “who are you?”.

Indikator kedua, berupa brand meaning, yang bisa dijajaki dengan “what are you”. Karena pada fase ini untuk mengukur pengetahuan konsumen pada brand. Selanjutnya, yang ketiga, brand responses. Pada tingkat ini, dapat ditanyakan “what about you” untuk membaca interaksi antara konsumen dengan brand. Dan terakhir, “what about you and me?”, sebagai indikator brand relationship. Untuk mengukur tingkat loyalitas konsumen pada brand.

Keempat indikator tersebut, sekaligus dapat untuk merancang tujuan komunikasi bagi brand. Di era media baru seperti sekarang, brand harus memiliki kemampuan memahami multidimensional insight pada konsumen. Sehingga, branding yang dilakukan akan terintegrasi dengan kebaruan media, aktivasi, dan program. Social media, merupakan salah satu potensi untuk membangun “engagement” dalam brand community.

Magic into Logic
Beragam brand besar yang sekarang “mapan”, punya konsen kuat pada consumer insight. Karena, dari sana lah akan lahir strategi branding yang kuat dan tepat, sesuai dengan kenyataan konsumennya. Karena itulah Steve Jobs pernah berkata, “Stay hungry, stay foolish”, untuk mengingatkan agar brand selalu belajar tentang konsumennya. Meski, multidimensional insight pada konsumen bergerak sangat dinamis.

“Stay hungry, stay foolish” itulah yang digunakan oleh CEO Apple tersebut untuk mendorong inovasi di Apple. Karena, jika brand terlalu sibuk bertanya apa yang diinginkan konsumen, maka saat perusahaan sedang membuat produk yang diinginkan tersebut, konsumen telah menginginkan produk baru lainnya. Dan ini tidak hanya terjadi di pasar teknologi informasi.

Dwi Hatmadji, Marketing Director PT. ABC President, mengutip cerita tentang Apple tersebut, sebagai ilustrasi pentingnya kreativitas. Menurutnya, pemasaran hanya akan bekerja baik jika selalu kreatif, engaging the consumer, dan menghadirkan value melalui brand. Nike, mampu mendongkrak penjualan selama kurun 10 tahun, dari $800 juta pada tahun 1988 menjadi $9,2 milyar pada tahun 1998, berkat brandline “Just Do It.”

Contoh tersebut menunjukkan “keajaiban branding” ala pemasar “magic into logic”. Yakni, transformasi komunikasi, promosi, dan aktivasi brand menjadi bisnis solid yang menguntungkan secara finansial. Jadi, jika visi branding 2013 telah menawarkan peluang keuntungan sedemikian lapang, apakah brand kita masih akan dipasarkan dengan cara yang biasa-biasa saja?

————-

Edy SR
Brandpreneur di EDYSR.COM
ide@edysr.com | @edysrid

Moderator at Seminar “2013 Impactful Marketing and Brand Strategy”
Sychbutuh and Brothers Enterprise | Brand Communication Partner

Only One Club, FX Lifestyle Jakarta, 13 November 2012