Jogja: Mural, Komersial, dan Sampah Visual


Ruang publik selalu menggemaskan. Karena itu, wajar jika jadi rebutan. Baik secara ekonomi, sosial, maupun kultural. Padahal sejatinya, ruang publik adalah “balai kota”. Tempat bercakap yang hangat bagi semua.

Arsitek senior, Munichy B. Edrees, pernah mengingatkan untuk menghidupkan lagi konsep “balai kota”. Menurutnya, “Sekarang ini, balai kota identik dengan Kantor Walikota, padahal bukan itu. Balai kota itu tempat kumpul-kumpul warga. Tempat bertemunya berbagai kepentingan warga.” Sehingga, balai kota tidak hanya untuk demonstrasi. Tapi juga silaturahmi, saling tukar pikiran.

Di Era Soekarno, balai kotanya hidup. Beragam gagasan pengembangan kota bisa dibagi ke warga. Sehingga ada komunikasi antara pembuat kebijakan dan warga. Warga punya porsi untuk memberi masukan kepada pembuat kebijakan. “Jika balai kota ini ada, warga tidak kaget lagi dengan arah pengembangan kota. Tidak bingung kota ini mau diapakan,” ujar Munichy.

Mural
Jogja, merupakan salah satu kota di Indonesia yang perkembangan ruang publiknya sering mengagetkan. Baik kejutan positif, maupun negatif. Sekitar 10 tahun yang lalu, ruang publik Jogja dikejutkan dengan hadirnya mural yang asyik. Ekspresi rupa di ruang publik ini, kemudian menjadi trend setter bagi dinding kota lain di Indonesia.

Penggagas mural Jogja, Samuel Indratma, dalam sesi “Artist Talk Mural: Sama-sama, You’re Welcome” pada 26 Juli 2003, menyatakan bahwa mural merupakan bagian dari proses untuk saling memahami secara sosial dan kultural. “Sejatinya, kota yang bersahabat adalah kota yang antar komunitasnya, dapat berinteraksi secara hangat di ruang publik.”

Gagasan Samuel bersama Apotik Komik dengan muralnya ini, menjadi salah satu penanda bagi kembali ramahnya ruang publik. Setelah selama Orde Baru, dinding kota menjadi bagian propaganda politik yang “liar” dan menakutkan. Demikian pula saat eforia Era Reformasi. Seolah, semua pihak berhak teriak di ruang publik. Sehingga tidak lagi menyisakan dinding kota yang nyaman, dan sedap dipandang.

Komersial
Komersialisasi jadi ancaman selanjutnya bagi pengembangan kota. Dan ruang publik, menjadi salah satu panggung yang menggoda bagi mereka. Jika dulu para pengiklan berebut lahan untuk menanam billboard, kini ganti berebut dinding kota. Bahkan, jika perlu dinding rumah warga.

Branding di dinding tak lagi sedap secara etika dan estetika. Kenyataan ini, seolah membuat strategi branding mundur sangat jauh ke belakang. Di masa komunikasi bisnis masih menganut “strategi bombardir”: yang penting sering tampak, yang penting sebar banyak. Dampaknya, sudah terbukti tidak efektif. Dan tentu saja, tidak efisien.

Brand activation yang ciamik, sebenarnya bisa menjadi solusi yang visioner bagi pengembangan brand. Polygon misalnya, pernah mengaktivasi brand-nya dengan cara mendukung pembuatan area tunggu bagi pesepeda, pada marka pemberhentian di lampu lalu lintas di Jogja. Alih-alih mereka mengecat gedung dengan brand Polygon berukuran besar.

Aktivasi berupa “area tunggu” tersebut, tentu lebih efektif dan efisien. Sekaligus relevan dengan brand value Polygon sebagai produsen sepeda yang tengah mendunia. “Civilized Branding” ini butuh tidak sekedar kreatif dan estetis, tapi juga etis dan peduli. Baik dari para kreator di industri kreatif, maupun dari para pemilik brand. Jika tidak, kampanye komersialnya hanya akan nyampah.

Sampah Visual
Gerakan “Reresik Sampah Visual” yang digagas Sumbo Tinarbuko, penulis buku “Semiotika Komunikasi Visual”, merupakan salah satu respon atas maraknya kampanye komersial di ruang publik yang kurang beradab. Aksi pencabutan umbul-umbul dan spanduk, pelepasan plakat dan poster, serta mengecat putih iklan komersial di dinding; hanya sebagai simbol. Pesan utuhnya, sangat jelas: kembalikan ruang publik sebagai “balai kota”. Balai komunitas yang tertata.

Di sela obrolan santai, Sumbo Tinarbuko pernah menyisipkan sebuah otokritik apik. “Bagi akademisi dan praktisi desain komunikasi visual, sampah visual merupakan dosa kita juga. Karena itu, kini saatnya kita luruskan. Agar gagasan kreatif para desainer tidak menyesatkan dan menyesakkan.” Otokritik tersebut sejalan dengan gagasan baik David Berman, penulis buku “Do Good Design: How Designers Can Change the World”.

Mei 2011 lalu, saat bedah buku di Jogja, David Berman menyatakan bahwa pemerintah tak bisa sendirian. Mereka butuh “ditemani” untuk mengurai segala persoalan. Termasuk dalam tata kota dan pengembangannya. Dan desainer merupakan salah satu teman yang dibutuhkan oleh para pengambil kebijakan di pemerintahan. “Karena, kita (desainer) tidak cukup hanya mendesain yang baik, tapi juga berbuat baiklah: Don’t just do good design, do good!”

——-

Edy SR
Brandpreneur di EDYSR.COM
ide@edysr.com | @edysrid