Menggambar Logo, Membaca Branding


Ada beragam burung garuda di Indonesia. Dan entah sadar atau tidak, kita punya cara sederhana untuk mengingatnya. Garuda Pancasila, dengan tenang hinggap di KTP kita. Garuda Indonesia sering bising melintas di atas rumah kita. Sedang Garuda Food, suka kriyak-kriyuk di mulut kita.

Uniknya, lezat logo Garuda Food tak pernah bisa digantikan oleh gesitnya logo Garuda Indonesia. Dan kedua logo garuda tersebut juga tidak akan pernah berani menggantikan karisma logo Garuda Pancasila. Karakter masing-masing garuda tersebut, tentu tak lahir dengan tiba-tiba. Tapi ada proses kreatif yang melatarbelakanginya.

Kreativitas secara visual, diwujudkan dalam bentuk logo. Sedang kreativitas yang diterjemahkan dalam penamaan dan nilai akan melahirkan brand (merek) dan branding (permerekan). Ketiganya sering rancu dipahami. Sehingga seolah-olah sama, padahal beda. Agar mudah membedakan, bisa menggunakan analogi diri kita.

Logo adalah wajah kita, sehingga secara visual kita gampang dibedakan. Merek merupakan nama, untuk memudahkan penyebutan. Agar untuk memanggil kita, orang lain tidak perlu merinci ciri visual kita. Sedang permereka adalah nilai yang menjadi atribut kita. Seperti sifat, kemampuan, impian dan sebagainya. Nilai inilah yang akan melengkapi karakter pembeda kita.

garuda-indonesia-pancasila-food

Logo Bukan Merek
Analogi sederhana tersebut, dapat menunjukkan lebih jelas bahwa logo bukan merek. Namun keduanya merupakan entitas yang saling melengkapi. Logo yang dibiarkan tanpa merek, hanya akan menjadi pajangan visual. Merek yang tidak “dilogokan”, juga hanya akan menjadi mitos. Karena itulah, permerekan berperan mengemas keduanya menjadi sebuah ekuitas.

Kesadaran tersebut, penting bagi para desainer komunikai visual yang konsen pada desain logo. Karena selain terampil memvisualkan gagasan, desainer logo juga mesti memberi nutrisi gagasannya tersebut dengan permerekan. Pada fase paling awal, pengetahuan tentang permerekan akan membantu desainer logo memahami brief.

Pemahaman tersebut akan memperkaya proses brainstorm. Sehingga, akan hadir gagasan visual yang beragam namun tetap kontekstual dengan mereknya. Penggunaan elemen desain logo misalnya, tidak sekedar unik tapi juga visioner. Mampu membaca kebutuhan merek untuk berkembang di masa datang, tidak sekedar terjebak pada tren detik ini.

Nutrisi permerekan bagi desainer logo akan berimbas pada sisi strategis lainnya, seperti dalam strategi komunikasi merek tersebut. Sebagai contoh, logo yang didesain hanya berdasar tren 2011, tentu akan sulit diakomodir oleh strategi komunikasi merek pada tahun 2013. Ini bukan berarti strategi komunikasinya tidak kreatif. Tapi karena secara konseptual desain logo tersebut tidak memberi lahan yang subur bagi merek untuk tumbuh dan berkembang. Jadi tidak perlu kaget jika kita menyaksikan merek berwajah menawan, tapi sayang harus mati muda.

Meremajakan Logo
Layaknya hidup kita, merek juga mesti melewati siklus kehidupan: lahir, tumbuh menjadi dewasa dan surut untuk meninggal. Atau dalam konteks permerekan, bisa dibahasakan: tidak dikenal, berkembang jadi terkenal, lalu surut untuk dilupakan. Resiko inilah yang kemudian mendorong lahirnya strategi revitalisasi berupa logo rejuvenation dan brand revitalize.

Kedua strategi tersebut tujuannya sama, untuk menghindari kematian merek. Bedanya, jika logo rejuvenation konsen pada sisi visual, maka brand revitalize mengeksploitasi segi nilainya. Logo rejuvenation menawarkan retouch, redesign dan change untuk menyegarkan visual logo yang sudah tampak renta.

Retouch biasanya hanya menyentuh permukaan peremajaan. Misalnya suasana visual, seperti yang dilakukan Coca-Cola. Meski logonya telah berumur ratusan tahun, dia tetap kinyis-kinyis (Jawa: ranum). Sedang seteru abadinya, Pepsi, telah menggunakan semua pendekatan logo rejuvenation tersebut. Terlahir dengan logo Pepsi Cola bergaya ala kompetitornya, kemudian berganti logo menjadi Pepsi (saja). Dan kini juga telah didesain ulang agar tetap segar.

Menguatkan Merek
Jika logo rejuvenation cenderung digunakan untuk meremajakan yang uzur, tidak demikian dengan brand revitalize. Melalui activation, extention dan change, brand revitalize juga bisa digunakan oleh merek muda yang merasa perlu “menguatkan kembali” strategi mereknya. Merek sekuat Indomie, pasti tak akan pernah lupa dengan brand activation ala Mie Sedaap. Mie instan Indofood tersebut telah mapan di pasar Indonesia. Dan tiba-tiba kepakan sayap Wings Food mengusiknya.

Kepakan sayap Wings Food tidak berhenti sebatas activation. Selanjutnya, mereka juga menggunakan brand extension untuk mendorong Kecap Sedaap masuk ke pasar Kecap Indofood. Meski keduanya masih terus berkompetisi, tapi hingga kini belum ada yang merasa perlu mengambil kebijakan change atas merek yang dikelolanya.

Justru, contoh strategi change yang cerdik bisa kita ambil dari Austria. Di dunia, mereka menyajikan minuman suplemen dingin Red Bull. Sedang di Indonesia, kesegaran yang sama bisa kita teguk dari Kratingdaeng. Menariknya, strategi ini berhasil. Sehingga ketika Red Bull Racing menjadi juara F1 2010, Kratingdaeng juga sama bangganya.

Begitulah warna-warni desain logo. Kerja desain komunikasi visual yang tampak tidak beda dengan yang lainnya, tapi sebenarnya butuh suplemen nutrisi branding agar lebih kaya perspektif. Sehingga mendesain logo tak hanya menjawab tantangan visual, tapi juga berusaha menjawab tantangan strategi nilai yang akan disematkan pada logo tersebut.

Visualisasi yang Ideologis
Sekitar tahun 3.100 SM, bangsa Mesir mengembangkan ideograph sebagai representasi gagasan yang menjadi cikal bakal huruf. Kini, saat reformasi bangsa Mesir pasca Mubarok, “ideograph” telah berevolusi menjadi merek. Merek detik ini tidak sekedar sebagai representasi gagasan, tapi juga sebagai representasi ideologi. Karena itu, dalam konteks permerekan, desain logo merupakan visualisasi yang ideologis. Tidak hanya menyampaikan keindahan visual, tapi juga mengomunikasikan “keindahan ideologi”.

Logo beragam gerakan anti narkoba misalnya, secara ideologis harusnya memilih goresan yang lembut, brand color yang sejuk dan bentuk logo yang memantik harapan. Karena dengan logo seperti itu, bisa dikomunikasikan bahwa gerakan tersebut adalah representasi dari kepedulian, proses rehabilitasi yang menyejukkan, dan menumbuhkan optimisme positif.

Pesan sepositif itu tentu tak akan pernah tersampaikan, jika brand color yang digunakan hitam legam dan merah darah. Kemudian secara ikonik, desain logonya menampilkan tengkorak, jarum suntik dan puntung rokok. Dan celakanya, “logo sesat” macam itu terus dipublikasikan. Ingat, wajah kita adalah logo. Nama kita adalah merek. Dan atribut nilai kita adalah permerekan. Jadi, jika wajah kita sudah menjadi tengkorak, apa kita masih butuh branding?

————-

Edy SR
Brandpreneur di EDYSR.COM
ide@edysr.com | @edysrid

Kapita Selekta Desain Komunikasi Visual
Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Yogyakarta, 19 Maret 2011