Merapikan Kota dengan Branding


Destination branding ibarat matahari. Ketika pagi, ia terbit di ufuk Banyuwangi, “Sunrise of Java”. Lalu bergulir ke Solo, pancarkan “The Spirit of Java”. Dan saat di Jogja, berbinar pikat dunia, “Never Ending Asia”. Jadi, jangan kaget jika wisatawan ke Jogja tak ada habisnya.

Demam destination branding sedang melanda Indonesia. Mendadak, banyak pemerintah daerah yang sibuk mendesain logo dan merancang kata untuk tagline-nya. Masing-masing daerah berusaha mendefinisikan diri. Ada yang didasari kesadaran branding, ada pula yang latah. Ada yang dituangkan dalam rencana strategis jangka panjang, ada pula yang instan. Tapi sayangnya, hampir sebagian besar terjebak dalam konteks pariwisata. Sehingga, seolah-olah destination branding itu undangan tamasya.

Padahal idealnya, strategi destination branding harus dimulai dari negara, berupa nation branding yang terencana. Korea, bisa sebagai salah satu contoh apiknya. “Korea be Inspired!” tidak lahir dari obrolan bareng pakar selama dua jam, lalu disayembarakan sebulan, dan di-launching selang enam bulan kemudian. Tapi merupakan rangkaian strategis selama hampir 30 tahun nation branding Korea dibangun. Asian Games 1986, merupakan salah satu pijakan strategis nation branding Korea di kawasan Asia. Di tengah kepungan Cina dengan sumber daya manusianya yang melimpah, Jepang dengan keunggulan kompetitif teknologinya, dan negara-negara Arab dengan gurun minyaknya, Korea mengomunikasikan brand value-nya melalui gelaran olahraga yang memikat Asia.

Selang dua tahun, 1988, Korea sekali lagi berhasil menggoda dunia dengan nation branding-nya di Olimpiade Seoul. Ingat, olimpiade ini bukan untuk city branding Seoul, tapi untuk nation branding Korea. Dan puncaknya tentu saja, ketika Korea bersama Jepang menghelat Piala Dunia 2002. Untuk pertama kalinya, kompetisi sepakbola sejagat ditandingkan di dua negara. Pesannya jelas, bahwa Korea “dapat dipercaya dunia”. Selebihnya, kini kita bisa melihat bagaimana “brand ambassador” Korea bekerja: Seoul, Samsung, Hyundai, dan tentu saja K-Pop dengan rambut jagungnya!

Kota yang Bahagia
Kota, sejatinya merupakan komunitas yang tertata. Baik secara fisik, psikis, maupun interaksi sosialnya. Kota menjadi tempat lahir, tumbuh, dan berkembangnya peradaban. Di sinilah nilai-nilai disemai dalam sejarah yang panjang. Karena itu, city branding tidak bisa instan. Brand value yang dipaparkan harus lahir dari nilai yang mengakar pada masyarakat. Sehingga, strategi branding selaras dengan kehidupan masyarakatnya.

Masyarakat harus dilibatkan, dan bahagia terlibat di dalamnya. Sehingga sejak awal masyarakat ikut memetakan skala prioritas potensi kotanya. Potensi paling strategislah yang akan menjadi pembuka jalan bagi tahapan city branding selanjutnya. Selama ini, kesadaran city branding secara organik seperti ini, belum tumbuh. Pemerintah sendirian merancang segalanya. Dan masyarakat kaget dengan perkembangan kotanya yang serba tiba-tiba. Akibatnya, banyak kebijakan pemerintah yang menjadi pemicu masalah baru di masyarakat.

City branding harus memanusiakan komunitas yang terlibat di dalamnya. Bayangkan, betapa ironisnya city branding “Enjoy Jakarta!” yang sama sekali tidak relevan ketika macet dan banjir melanda. Bagaimana bisa enjoy, jika kotanya tidak bahagia. Apakah “Enjoy Jakarta!” cukup diukur dari sukses pesta diskon yang setahun sekali dirayakan? Tentu tidak.

Nilai yang Distinctive
Jangan terjebak dengan pariwisata. Ada banyak perspektif yang bisa digunakan untuk membangun destination branding. Jogja misalnya, bisa menawarkan keunggulan kompetitifnya di bidang pendidikan. Jika perspektif ini yang dipilih, bisa jadi fasilitas pendukung edukasilah yang akan diprioritaskan untuk dikembangkan, ketimbang memperbanyak hotel dan mal. Misalnya menjadikan Gunung Merapi sebagai aset branding bagi riset vulkanologi. Atau menjadikan aktivitas ekskavasi sebagai aktivasi branding yang lebih edukatif, melibatkan pengunjung awam. Tentu dengan pendampingan dan skala keterlibatan yang terukur.

Destination branding yang distinctive seperti ini, harus terus ditumbuhkan di Indonesia. Agar kekayaan destination branding yang dimiliki Indonesia tidak terjebak pada perspektif yang sama. Sekedar menginventarisir aset kuno, kekayaan alam, varian kuliner, koleksi hotel dan mal, lalu sudah merasa cukup untuk promosi dengan label destination branding. Bila ini yang terjadi, maka destination branding yang dimiliki Indonesia, tidak akan pernah kompetitif ketika bersanding dengan negara lain.

Untuk destination branding yang mengandalkan situs kuno misalnya, bisa jadi kita sudah tertinggal jauh dari Yunani. Pemerintah Yunani sudah bisa menarik perhatian dunia, hanya dengan mengirim pesan branding melalui larangan wisatawan memakai sepatu hak tinggi saat mengunjungi situs kuno. Alasannya, hujaman hak tinggi tersebut lebih beresiko merusak batu situs, bahkan dibanding injakan kaki gajah. Hal serupa juga dilakukan oleh otoritas Roma. Mereka melarang pengunjung Colosseum membawa makanan dan minuman, karena bercaknya yang melekat di batu akan sulit dibersihkan.

Aturan tersebut sebenarnya mengajarkan bahwa dalam mengembangkan destination branding, brand value yang dibangun harus distinctive. Karena nilai distinctive tersebut melekat pada aset branding yang perlu perlakuan khusus, maka aturan tersebut lahir. Kesadaran brand value semacam inilah yang sebaiknya ditumbuhkan. Sehingga, selain melindungi aset branding, aturan tersebut sekaligus juga menjadi paparan keunggulan kompetitif, sekaligus membangun kesadaran baru yang mengesankan. Dan kesan tersebut nantinya tidak sekedar sebagai pembeda, namun juga sebagai pelekat pesan branding di benak target sasarannya.

Pendekatan brand value yang distinctive semacam inilah yang belum digali oleh hampir semua daerah di Indonesia yang sedang gandrung membangun destination branding-nya. Karena itu, tidak heran jika banyak aset branding berupa situs atau kekayaan alam yang justru rusak oleh eksploitasi pariwisata yang serampangan. Padahal, jika itu dikemas dalam perspektif riset keilmuan, justru akan punya nilai tambah yang lebih besar. Tidak hanya finansial, namun juga reputasi baik yang mendunia.

Branding yang Asyik
Nilai yang distinctive harus disertai branding yang asyik agar komunikatif. Destination branding negara lain sudah berlomba melekat di liga sepakbola elit Eropa. Tapi di saat yang bersamaan, beberapa destination branding di Indonesia, masih mengandalkan spanduk dan baliho yang dipajang di daerahnya sendiri bersamaan dengan foto walikota, bupati atau gubernurnya. Ini jelas blunder yang sangat menggelikan.

Kenapa bisa terjadi? Karena sejak awal, mereka tidak pernah memetakan strategi branding-nya secara mendalam. Kalaupun mereka sudah berhasil menemukan brand value yang distinctive, mereka jelas gagal mengenali siapa target komunikasi branding-nya. Sehingga mereka juga menjadi kesulitan merancang pesan yang harus disampaikan. Hasilnya, semua foto dimasukkan. Semua kalimat dituliskan. Dan sekali lagi jangan lupa, foto pejabatnya ikut nampang dengan ukuran yang lebih besar ketimbang kampanye destination branding-nya. Fatal!

Branding yang komunikatif setidaknya memperhatikan “5C Media Context”. Tahap awal, kenali community yang menjadi target branding-nya dan sesuaikan concept komunikasinya. Selanjutnya, kemas content secara chic agar menarik. Pastikan pesannya klir dan konsisten, agar mudah dicerna dan tidak bias. Dan terakhir, perhatikan aspek commercial-nya. Karena komersialisasi akan turut memengaruhi aktivasi branding yang dilakukan untuk menguatkan penyampaian pesan.

Sering orang bilang, kalau mau melancong ke luar negeri, jangan ke Malaysia. Karena koleksi destinasinya tidak sekaya Indonesia. Tapi kenapa orang Indonesia masih berbondong-bondong terbang dengan Air Asia ke sana? Karena “Malaysia Truly Asia”. Pada kesempatan yang lain lagi, orang juga bilang bahwa Singapura tidak menarik disambangi, karena negara rasanya mal semua. Namun, tetap saja jutaan orang penasaran ke Negeri Singa. Ternyata, gara-gara brandline mereka “Your Singapore”. Sehingga rasanya Singapura adalah kita.

——-

Edy SR
Brandpreneur di EDYSR.COM
ide@edysr.com | @edysrid

Soft Launching The Tusti Jogja & Diskusi
Identitas Jogja dalam Perspektif Warga Kota
Dan Bangunan Cagar Budaya

Yogyakarta, 17 Juli 2014