My Name is Brand


Selamat datang di dunia nama. Perhatikan sekitar. Kita akan melihat orang bercelana Levi Strauss. Bersepatu Adi Dassler. Sambil mengunyah Mac McDonald, ditemani sebotol Sosrodjojo dingin.

Di kesempatan yang lain, kita juga akan melihat orang yang sibuk mengetik di Michael Dell, untuk dicetak oleh Bill Hewlett-Dave Packard. Sembari sesekali menjawab panggilan telepon dari (Sony) Larn Magnus Ericcson. Maklum, dia seorang arsitek di Ciputra Development, yang sedang menyiapkan rencana pengembangan kawasan Sampoerna Strategic Square.

Tidak hanya itu. Masih banyak “nama” yang akhirnya kita kenal sebagai “merek ternama”. Belajar dari mereka, mestinya kita juga bisa memasarkan nama kita sendiri. Tentu disertai dengan spesialisasi, reputasi, serta distinctive yang unik. Jika tidak, hanya akan melahirkan nama pasaran yang sulit dibedakan dengan nama serupa lainnya.

Coba ingat, ada berapa banyak warung makan bernama “Warung Sederhana”. Atau toko kelontong yang dinamai, “Toko Pojok”. Belum lagi kalau kita perhatikan semua gerai ponsel dan pulsa yang mereknya berakhiran “Cel, Cell, Sel, dan Sell!”. Oh my G, kenapa kita selalu berpikir sama, padahal kita berharap mendapat hasil yang berbeda.

Spesialisasi
Tidak banyak, orang yang dibekali kemampuan multitasking. Karena itu, spesialis lah. Mumpuni dalam satu hal, bukan sebuah kelemahan. Tapi justru menjadi kelebihan. Di Indonesia, terutama di Jawa, nama Sosrodjojo jumlahnya bisa ribuan. Tapi kenapa, kita hanya mengenal satu “Sosro”? Jawabnya gampang, karena Sosro ahlinya teh.

Demikian pula dengan Yap Hong Tjoen. Jika disebut nama tersebut, sebagian besar kita tidak akan mengenalnya. Namun ketika disebut “Rumah Sakit Mata Dokter Yap Yogyakarta”, kita langsung tanggap tentang dedikasi dan spesialisasinya. Bahkan ketika kini namanya juga digunakan untuk kawasan niaga “Yap Square”, orang tetap lebih mengenalnya sebagai dokter mata.

Sebagian besar nama lahir kita, sangat pasaran. Sudah umum digunakan, kadang tidak unik, bahkan tidak jarang sama persis dengan nama orang lain. Belajar dari Sosrodjojo dan Yap Hong Tjoen, kini saatnya kita berani menentukan spesialisasi kita. Agar ke depan, nama kita lebih menjual lantaran dikenal dengan spesialisasinya. Karena, spesialisasi merupakan salah satu aspek penting dalam branding (pemerekan).

Reputasi
Hanya ada satu Sampoerna yang nyaris berusia 100 tahun. Ini bukan usia hidup seseorang, tapi kita bicara reputasi. Sampoerna merupakan contoh apik bagi “kesempurnaan reputasi”. Berawal dari bisnis rokok sejak 1913, kini reputasi Sampoerna identik dengan pendidikan, pemberdayaan, dan kepedulian. Ini tak lepas dari peran Sampoerna Foundation sejak 2001.

Unik memang. Setelah sekian lama Sampoerna dilarang masuk kampus karena produk nikotinnya, kini kampus mengundang Sampoerna karena empatinya. Inilah pelajaran pentingnya: reputasi. Nama, tidak cukup hanya dibesarkan dengan spesialisasi. Karena, pemerekan juga membutuhkan etos positif untuk membangun reputasi.

Bob Sadino pernah menyatakan, hanya orang bodoh yang selalu merasa tidak punya modal untuk berwirausaha. Padahal, Tuhan telah memberi kita modal yang luar biasa berupa akal dan indra. Jika pandangan Om Bob tersebut kita aplikasikan dalam pemerekan, maka sebenarnya kita sudah punya modal merek berupa nama kita. Selanjutnya, merek kita tersebut tinggal dipasarkan serta dibesarkan dengan spesialisasi dan reputasi.

Distinctive
Setiap merek selalu punya kisah unik untuk diceritakan.

1895, seorang lelaki berumur 40 tahun kesal. Pisau tumpulnya tak mampu merapikan jenggotnya, dan justru membuat kulitnya iritasi. Dialah King Camp Gillette. Setelah melalui sebelas tahun masa pencarian, lahirlah alat cukur tipis untuk sekali pakai. Sejak itu Gillette melegenda. Konon, merek itu pula yang diserap dalam Bahasa Indonesia menjadi kata “silet”.

1970, sebuah garasi di kawasan Menteng Jakarta, disulap Martha Tilaar menjadi salon kecantikan. Bekalnya, resep tradisional perawatan tubuh dan jamu. Kini, Martha Tilaar Group menjalankan tujuh perusahaan. Mulai produsen kosmetik, konsultasi kecantikan, pendidikan dan manajemen sumber daya manusia, periklanan, hingga waralaba dan pelisensi kosmetik asal Jerman.

1992, Indonesia Raya berkumandang untuk pertama kalinya di olimpiade. Alan Budikusuma dan Susi Susanti meraih emas bulutangkis Olimpiade Barcelona untuk tunggal putra dan tunggal putri. Selang sepuluh tahun kemudian, 2002, keduanya melahirkan ASTEC (Alan-Susi Technology) yang memroduksi peralatan bulutangkis dan kelengkapan olahraga lainnya.

2008, mantan VJ MTV Daniel Mananta sebal setiap mendengar orang mengolok-olok Indonesia. Karena itu, dia membuat merek: DAMN! I Love Indonesia. Desain kaos bertema Cinta Indonesia dibalut bahasa Inggris. Tujuannya, agar pesan tentang Indonesia tersampaikan secara universal. Sehingga secara tidak langsung, pemakai kaosnya juga sebagai duta bangsa.

Kini, apa kisah unik merek anda yang apik untuk diceritakan?

——-

Edy SR
Brandpreneur di EDYSR.COM
ide@edysr.com | @edysrid

Kapita Selekta Sosiologi
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 28 September 2011