I Love You, Ad: Because You are Creative
Demi mata yang bersinar, demi pipi bagaikan fajar. Demi kecantikan yang akan sirna, setelah masa remaja purna. Demi harga sebagai alasannya, perempuan yang mengerti, akan membeli kosmetik “Aesclyptos”.
Lirik puitis itulah yang dilusankan para penjual di jaman Yunani Kuno. Naskah iklan (copywriting) yang indah. Menggoda pelanggan di jamannya. Ketika iklan awal dikenal dan pilihan strategi komunikasi belum sekompleks sekarang. Kini, iklan pun tetap berusaha menyajikan informasi dengan indah dan menggoda. Itulah kenapa iklan tak pernah bisa lepas dari kreativitas. Sejak awal dikenal hingga detik ini.
Revolusi industri telah mengantarkan kebutuhan komunikasi kreatif yang beragam. Iklan salah satu bentuknya. Berkembang berdampingan dengan peradaban. Melalui kreasi, kritik dan kajian; iklan jadi bagian tak terpisahkan dari budaya. Karena itu, kini iklan bersama kita sejak bangun tidur hingga tidur lagi. Bahkan jangan-jangan salah satu mimpi buruk kita saat tidur adalah iklan.
Salah satu penanda perkembangan dunia periklanan adalah agensi iklan. Awalnya, agensi hanya berperan sebagai makelar. Kini, agensi bahkan mampu mempengaruhi ‘konteks’ periklanan. Sehingga studi periklanan di sekolah desain komunikasi visual, komunikasi dan ekonomi, lebih konsen ke mind frame agensi. Makanya kemudian lahir konsentrasi keahlian account executive (AE), kreatif dan spesialis media. Padahal sebenarnya masih ada mind frame lain yang tak kalah penting untuk dikembangkan: kritik iklan.
AE: Mata-mata Berbulu Domba
AE atau bina usaha, dari sinilah proses iklan berawal. Karena, AE-lah yang awalnya mencermati merek secara detail. Menerjemahkannya menjadi client brief. Dan mengawalnya dengan perencanaan strategis. Tidak salah jika kemudian AE diibaratkan sebagai spionase. Bahkan, dalam konteks marketing intelligence, AE juga berperan memata-matai kompetitor.
Uniknya, dalam peran spionase tersebut, AE berperan sebagai agen ganda. Ketika AE berinteraksi dengan merek, maka AE akan berperan sebagai representasi agensi. Mengumpulkan informasi tentang merek sebanyak-banyaknya. Memilah konsen atas masing-masing informasi tersebut. Mencernanya, menjadikannya sebagai nutrisi gagasan perencanaan strategis maupun gagasan kreatif bagi merek tersebut.
Sedang dalam konteks di agensi, AE menjadi duta besar merek. Informasi merek yang telah dicerna AE, akan menjadi rule of the game bagi agensi berproses. Proses pencarian gagasan (brainstorm) seliar apapun, akhirnya akan selalu dirujukkan pada brand value yang ingin dikomunikasikan dalam iklan maupun strategi komunikasi pemasaran lainnya. Tujuannya, agar strategi komunikasinya kontekstual.
Kreatif: MHBMLBDCYTB
Mengubah hal biasa, menjadi tidak biasa, dengan cara yang luar biasa; itulah kreatif. Detail informasi tentang merek yang telah dikemas AE menjadi bahan tim kreatif untuk merumuskan gagasan komunikasi dalam iklan. Karena itulah kemudian dikenal istilah pencarian gagasan. Meski tidak eksak, ada dua metode pencarian gagasan yang cukup popular di kalangan tim kreatif.
Pertama, metode acak kata. Seperti namanya, metode ini membebaskan tim kreatif untuk ‘mengacak-acak’ kata. Lupakan aturan yang mengekang. Biarkan dulu kata-kata berserakan. Batasnya, jika kita sudah puas berlaku liar terhadap beragam kata tersebut. Baru kemudian pelan-pelan rapikan. Tujuannya, agar berawal dari kata yang berhamburan tersebut, akan didapat gagasan yang kontekstual dalam creative brief. Contoh sederhana, seperti pada judul tulisan ini. Sebenarnya, bisa saja judul tulisan ini seperti berikut: Gue Suka Iklan, Aku Cinta Iklan, Saya Sayang Iklan; tapi kesannya itu biasa. Setelah acak kata, saya memilih; “I Love You, Ad: Because You are Creative”. Karena ini berasa lebih indah, menggoda dan nakal!
Kedua, metode acak gambar. Mirip metode acak kata, tapi bahan yang diacak-acak adalah gambar. Abaikan juga apapun yang mengekang, termasuk detail konteksnya. Misal konteksnya adalah idul fitri, buang detail yang berhubungan langsung dengan perayaan hari raya tersebut. Seperti ketupat, opor, bedug, obor, bersalaman dan sebagainya. Tujuannya, untuk memberi tantangan lebih agar bisa menemukan gagasan visual yang tidak pasaran. Contoh isengnya, seperti pada kartu ucapan hari raya idul fitri saya versi “nike-adidas”. Sekali lagi, karena saya ingin berkomunikasi secara indah, menggoda dan tentu saja nakal!
Spesialis Media: Musuh Penonton Sinetron
RCTI; rame-ramenya cerita tau-tau iklan. Guyonan ini secara tidak langsung menunjukkan tanggung jawab utama spesialis media, yaitu menempatkan iklan di media massa (media placement). Selengkap apapun client brief dari AE. Sebagus apapun kreasi tim kreatif. Tidak akan pernah ‘menjadi iklan’, jika tidak pernah ditayangkan. Karena itulah, spesialis media selalu berusaha menempatkan iklan secara baik; berdasar riset, perencanaan dan anggaran.
Umumnya, dalam media brief, spesialis media akan merekomendasikan media cetak yang banyak pembacanya. Radio yang banyak pendengarnya. Dan televisi yang banyak penontonnya. Jadi semakin anda menggilai sinetron, akan semakin gila juga jumlah iklannya. Sedang untuk situs, jumlah pengunjung menjadi acuannya. Meski demikian, audiens media hanya menjadi salah satu indikator. Masih ada beragam pertimbangan lain.
Coba ingat, pernahkah anda menghitung jumlah iklan yang tayang di sela tayangan Opera Van Java? Jika pernah, selamat anda telah mencicipi kerja riset media (media research). Jika belum, cobalah rasanya. Lalu, pernah kah anda berpikir jika suatu saat punya merek sendiri, akan beriklan di sela tayangan Kick Andy? Jika sudah pernah juga, sekali lagi selamat anda telah mencicipi perencanaan media (media planing). Jika belum, anda harus coba merasainya.
Kemudian, pernahkah anda iseng bertanya ke stasiun televisi, berapa harga iklannya? Jika dijawab, sekali tayang 30 juta rupiah per 30 detik; itu artinya kita butuh membayar satu juta rupiah setiap detiknya. Bila anda pernah melakukannya juga, berarti anda benar-benar selamat. Karena tidak pingsan mendengar harganya, dan telah mencicipi lezatnya pembelian media (media buying). Jika iseng pun anda belum pernah mencobanya, ya sudah mari kita tertawa bersama saja..hahaha!
(Catatan: anggap bagian ini, sebagai iklan di sela tulisan saya).
Kritik Iklan: Kritik itu Baik
Entah siapa yang memulai menggunakan istilah “kritik dan saran”. Dan sesatnya lagi, dengan sembrono memetakan bahwa “kritik” untuk yang sifatnya kekurangan. Dan “saran” untuk memperbaiki kekurangan tersebut. Sehingga kesannya hal yang dikritik itu jelek, makanya perlu diperbaiki dengan hal yang disarankan.
Awal tahun 2000-an, milis kritik-iklan@yahoogroups.com menjadi ruang ‘kritikus iklan’ paling populer di Indonesia. Tiap detik, iklan dikaji secara trajektoris. Pemilik merek, agensi iklan, akademisi, pemerintah, dan konsumen membaca iklan dengan terbuka. Ada yang berperan antagonis dengan posting sinis. Ada pula yang berperan protagonis dengan posting skeptis. Dan tentu saja ada yang berperan sebagai cameo dengan posting sekedar sebagai pemanis.
Salah satu topik hangat yang pernah mencuat adalah iklan Sunsilk dengan model iklan berjilbab. Kontan, dunia persilatan iklan di Indonesia gempar. Berhamburanlah beragam komentar. Para antagonis melihat penggunaan model iklan berjilbab kurang tepat. Karena ‘apa kata dunia’ jika iklan produk perawatan rambut, justru tidak memamerkan hasilnya. Sedang para protagonis melihat itu sebagai gagasan baru. Karena tidak pasaran, justru akan ‘lebih mudah diingat dunia’. Dan yang tak kalah menarik tentu posting para cameo, “Biarpun berjilbab, modelnya tetap cantik juga ya…”.
Ini tentu cuma salah satu contoh konsen kritik iklan, dan saya bahasakan secara sederhana. Lebih jauh, masih ada beragam konsen yang bisa kita jadikan kajian kritis atas iklan. Sekolah desain komunikasi visual, komunikasi dan ekonomi wajib mendorong lebih maju lagi kritik iklan secara trajektoris. Jika perlu, jangan hanya membuka jurusan periklanan (advertising) dengan konsentrasi AE, kreatif dan spesialis media. Tapi lahirkan juga konsentrasi kritik iklan. Karena kritik selalu melahirkan pencerahan.
————-
Edy SR
Brandpreneur di EDYSR.COM
ide@edysr.com | @edysrid
Kuliah Umum Periklanan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 21 Oktober 2010